Happy Ending? Happy Starting


Happy Ending? Happy Starting..

artikel yang menjurus ke topik pembahasan yang berbeda tentang sebuah pernikahan/pasangan hidup...

Saat itu saya masih berseragam putih abu-abu. Saya dan sahabat saya, sedang duduk di kantin sekolah. Sesekali menyeruput teh hangat yang sudah mulai dingin. Bercanda, tertawa.

"Her, minggu depan, Risna menikah. Kasih kado yuk."

Risna, adalah salah seorang teman kami yang tidak melanjutkan sekolah dan memilih berkeluarga.

Sepulang sekolah, kami berburu kado.

Saya tidak akan membahas mengapa dia menikah di usia sedini itu, lagipula tidak ada yang salah dengan pernikahan dini.

Adapun yang menarik untuk saya bahas adalah, kado teman saya itu. Di kado bersampul pink itu, tertulis sebuah ucapan:

"Selamat Happy Ending, Risna dan Arif."

Happy Ending yang dimaksud teman saya adalah pernikahan. Bagi dia, pernikahan adalah akhir yang indah untuk sebuah hubungan. Setiap orang, mengimpikan hubungan mereka akan berakhir di pernikahan. Itulah maksud teman saya.

Happy Ending, akhir yang indah. Siapa yang tidak mendambakannya? Pacaran bertahun-tahun, atau berbulan-bulan, jalan kesana-kemari berdua, sayang-sayangan, bahkan mungkin lebih dari itu. Bukankah memang sepantasnya berakhir dengan indah: pernikahan? Bukankah semua pengorbanan, kesetiaan, kecemburuan, kemesraan, berujung di sini: pernikahan?

Dalam pandangan ini, pernikahan adalah sebuah akhir, pernikahan adalah capaian tertinggi dalam sebuah hubungan.

Beberapa waktu lalu, saya menyimak acara Hitam Putih spesial yang menjadikan Deddy dan Kalina sebagai bintang tamunya.

Acara talkshow itu menampilkan pengakuan Deddy Corbuzier dan Kalina perihal perceraian mereka. Oh, maaf. Saya tahu Anda tidak begitu tertarik dengan kisah perceraian artis. Sama, saya juga. Tentu kita tidak peduli dengan perceraiannya, kabar seperti itu bukan menu makan siang kita. Kita memiliki banyak masalah ummat yang menantang untuk diselesaikan. Insyaallah kita tidak lagi memiliki cukup waktu untuk update berita selebritis.

Jadi, kita tidak membincangkan perceraiannya. Oke? Saya hanya tertarik dengan jawaban Deddy saat host saat itu (Okky Lukman) bertanya mengapa Deddy memilih bercerai.

Maka, Deddy menjawab dengan kalimat pembuka.
Ini kesalahan ya, bagaimanapun perceraian itu tidak baik. Jadi, penjelasan saya, bukan untuk membenarkan keputusan saya."

Oke, saya setuju.
Deddy lalu melanjutkan:

Saya mengibaratkan pernikahan itu ibarat memancing. Memancing itu, bagian yang paling seru adalah strike-nya. Yaitu saat kita berusaha mendapatkan ikan yang mencoba meloloskan diri saat terkait di kawat pancing.

Itulah bagian yang paling seru: mengejar-mengejar. Dan jika ikannya sudah berhasil didapatkan, habislah serunya.

Itu menurut Deddy Corbuzier, mentalist terbaik dunia peraih Merlin Award dua kali berturut-turut.

Saya rasa, pendapat Deddy itu sesuai dengan fakta. Agaknya, memang demikianlah cara sebagian besar laki-laki berpikir tentang sebuah hubungan.

Jika bagian yang dianggap seru adalah saat mengejar, maka tidak heran jika dalam pengejaran itu, dikerahkannya semua daya upaya, semua rayuan manis, ditampakkan semua kelebihan, disembunyikan semua kelemahan.

Mengapa? Karena ini adalah bagian paling seru dalam sebuah hubungan: pengejaran!

Tidak heran jika seorang gadis (ataupun yang tidak gadis lagi), akan memilih parfum terwangi, pakaian terseksi, dan salon terbaik untuk mendandaninya. Untuk siapa dia melakukannya? Untuk pacarnya!

Mengapa? Karena memang saat pengejaran itulah bagian paling seru, menurut mereka.

Tidak mengherankan pula, jika seorang laki-laki rela mentraktir pacarnya, membelikan baju, antar jemput, meninggalkan hobinya, mendengarkan curhat pacarnya, mengusap airmatanya, memenuhi segala keinginannya.

Mengapa dia rela melakukannya dengan senang hati? Karena pengejaran adalah bagian paling menyenangkan dalam sebuah hubungan.

Entah mengapa, cara pandang tersebut, meski tidak diakui secara lisan, telah diterapkan dengan sangat sempura dalam membangun hubungan laki-laki dengan perempuan.

Sebagian besar, memang menjadikan pernikahan sebagai akhir dari sebuah hubungan. Artinya, tahapan yang mereka lalui adalah: dimulai dengan pacaran, berakhir dengan pernikahan.

Kembali ke analogi memancing yang disampaikan oleh Deddy Corbuzier, bagian paling menyenangkan adalah mengejar, dan setelah ikannya didapat, habislah serunya.

Tidak heran. Tidak heran jika mereka lebih senang berlama-lama mengejar, dan setelah ikan berhasil didapat, mereka mengembalikannya ke kolam. Mengapa? Karena setelah dapat, serunya hilang.

Ya memang begitu. Salim A Fillah, dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan menggambarkan keadaan ini dengan istilah 'Sup kaldu yang bumbunya dimakan lebih dulu.'

Jika bumbu sup kaldu sudah dimakan lebih dulu, apa lagi yang tersisa? Tidak ada, kecuali air tawar saja.

Begitulah. Jika semua kemesraan, kesetiaan, kecemburuan, pengorbanan, dan lainnya, sudah diumbar saat sebelum menikah, maka apa lagi yang tersisa setelah menikah? Tidak ada, kecuali hubungan yang dingin, hambar, membosankan, dan menunggu waktu yang tepat untuk perceraian.

Terlebih lagi jika kita kembali ke istilah happy ending. Karena pernikahan dianggap akhir, maka berakhirlah semua kemesraan yang diluap-lampiaskan saat sebelum menikah.

Jokes zaman dulu masih senantiasa relevan untuk menggambarkan keadaan ini. Saat masih pacaran, ketika pacarnya terjatuh, sang lelaki akan mengusap-usap bagian yang luka, sambil menenangkan. 'Sabar ya sayang.... lain kali hati-hati ya.' Setelah menikah, isterinya (yang dulu pacarnya) terjatuh lagi dengan keadaan yang sama. Apa yang dikatakan lelaki yang kini menjadi suaminya? 'Makanya, kalo jalan liat-liat! Buta ya!!!' Hhh.

Bumbu sup kaldunya sudah dimakan lebih dulu, yang tersisa adalah air tawar.

Kemesraan sudah diluap-lampiaskan saat pacaran, yang tersisa dalam pernikahan adalah: hubungan tanpa hati, membosankan.

Sesungguhnya, pernikahan bukanlah akhir yang indah untuk sebuah hubungan. Semestinya, ia adalah awal. Ya, awal hubungan yang indah.

Semestinya tidak ada hubungan yang indah itu sebelum pernikahan. Semestinya tidak ada kemesraan sebelum pernikahan. Semestinya, pernikahan menjadi perkenalan yang sesungguhnya. Semestinya, pernikahan tidak disamakan dengan memancing yang hanya menyenangkan saat pengejaran.

Saya muak saat teman-teman menyebut isterinya sebagai mantan pacar. Bahkan mereka ingin menerapkan itu juga pada saya.

Saat saya menyebut isteri saya sebagai pacar, mereka komplain. Mereka mencoba membetulkan ucapan saya, 'Mantan pacar.' Saya tetap ngotot, 'Pacar.' 'Mantan Pacar.' 'Pacar!' 'Mantan Pacar!' 'Pacar!!!'

Saya tidak mau menyebut isteri saya sebagai mantan pacar. Sebab, kami memang tidak memiliki hubungan apa-apa sebelum pernikahan.

Hubungan kami, justeru bermula saat saya mengucapkan ijab-qabul di hadapan ayahnya. Saat itulah kisah kami dimulai.

Usai aqad itulah kali pertama saya duduk di sampingnya. Usai aqad itulah kali pertama ia mencium tanganku selepas shalat sunnah. Usai aqad itulah kali pertama kami berboncengan dalam sebuah sepeda.

Usai aqad itulah, kami memulai apa yang disebut dengan cinta.

Pernikahan adalah sebuah permulaan. Berawal dari pernikahan, dimulailah hari-hari perkenalan yang sejati. Berawal dari pernikahan, dimulailah berbagai kisah perjuangan bersama pasangan halal kita.

Berawal dari pernikahan, akan hadir banyak kejutan mendebarkan: cemburu, rindu. Berawal dari pernikahan, akan hadir wajah-wajah menggemaskan dan tawa-tawa riang dari anak-anak kita. Berawal dari pernikahan, dimulai petualangan bersama menuju surga.

Ya, karena pernikahan bukanlah akhir yang indah. Pernikahan, adalah awal yang indah untuk sebuah hubungan.

Happy Ending? Happy Starting Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown